Jumat, 15 April 2016

Het Ontkleden Recht II



Peraturan Untuk Mahluk Berakal oleh Mahluk Berakal yang Berkuasa Atasnya


Pengertian Divestasi dan Hukum Divestasi

Hukum Perdata
Kita akan membahas mengenai hukum divestasi, sebelum mengetahui apa itu divestasi kita perlu menggolongkan hukum divestasi tersebut dalam pembagiannya. Hukum divestasi termasuk ke dalam golongan hukum acara perdata.
Hukum Acara Perdata menurut Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, S.H.,  adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan Hakim.
Karena divestasi membahas masalah masalah materil yaitu tentang pengalihan keuntungan, kebendaan, kekuasaan atas kepemilikan harta maka hukum divestasi tergolong hukum acara perdata. Selain itu, dalam acara perdata sebelum ada putusan  hakim, pihak-pihak yang bersangkutan boleh menarik kembali perkaranya. Menurut pelaksaannya pula, pada acara perdata, inisiatif datang dari pihak yang berkepentingan yang dirugikan. 

A.      Pengertian Divestasi
Istilah divestasi berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu divestment.  Namun ada juga ahli yang menggunakan istilah Indonesianisasi. Indonesianiasi adalah tidak saja hanya berarti pengalihan keuntungan, tetapi lebih penting lagi adalah pengalihan control terhadap jalannya perusahaan. Apabila dikaji definisi ini ada dua hal yang dihajatkan dari konsep Indonesianiasi, yaitu:
1.      Mendapat keuntungan
2.      Pengalihan control terhadap jalannya perusahaan
Keuntungan yang diperoleh dari Indonesianisasi adalah memperoleh dividen dari perusahaan asing.

Divestasi adalah
the act of selling the shares you have bought in company or taking money away from where you have invested.”

Divestasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang penjualan saham yang dimiliki oleh perusahaan atau cara mendapatkan uang dari investasi yang dimiliki oleh seseorang. Sementara itu, pengertian divestasi sendiri dijumpai dalam Pasal 1 angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah. Divestasi adalah:
                “penjualan surat berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain.”

Jeff Madura, seperti dikutip Wikepedia, menyajikan pengertian divestasi. Divestasi adalah pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki oleh perusahaan. Ini adalah kebalikan dari investasi pada asset yang baru.

Setyo Wibowo mendefinisikan divestasi adalah:
“sebagai suatu transaksi penjualan asset kepemilikan/saham suatu entitas ekonomi yang dikuasi pemerintah oleh institusi yang ditunjuk seperti BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) atau PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero). Aset-aset ini sebelumnya menjadi ‘investasi pemerintah’ sebagai konsekuensi dari program-program penyehatan ekonomi yang dijalankan pemerintah, seperti: program penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS), program-program penyehatan bank (rekapitalisasi, merger, pembekuan), program penjaminan pemerintah, dan sebagainya.”

Abdul Moin juga memberikan pengertian divestasi. Divestasi berarti :
“menjual sebagaian unit bisnis atau anak perusahaan kepada pihak lain untuk mendapatkan dana segar dalam rangka menyehatkan perusahaan secara keseluruhan.”

Apabila dianalisis berbagai definisi yang tercantum dalam peraturan pemerintah dan pandangan para ahli, divestasi dikonstruksikan sebagai jual beli. Dimana pihak divestasi ini adalah pemerintah dengan pihak lainnya. Pemerintah bertindak sebagai penjual, sedangkan pihak lainnya, berupa badan usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing bertindak sebagai pembeli.

Motif Divestasi
Miriam Flickinger, mengemukakan ada dua alasan dilakukan divestasi oleh perusahaan, yaitu:

1.      Meningkatkan efisiensi
2.      Peningkatan pengelolaan investasi
Fokus divestasi adalah mengarah pada peningkatan efisiensi investasi dengan mengurangi kemungkinan untuk menyimpang alokasi investasi dalam perusahaan.

Jeff Madura dikutip Wikipedia, mengemukakan empat motif divestasi, yaitu:
            “Pertama, sebuah perusahaan akan melakukan divestasi (menjual) bisnis yang bukan merupakan bagian dari bidang operasional utamanya sehingga perusahaan tersebut dapat berfokus pada area bisnis terbaik yang dapat dilakukannya.
            “Kedua, untuk memperoleh keuntungan. Divestasi menghasilkan keutungan yang lebih baik bagi perusahaan karena divestasi merupakan usaha untuk menjual bisnis agar dapat memperoleh uang.
            “Ketiga, nilai perusahaan yang telah melakukan divestasi (menjual bisnis tertentu mereka) lebih tinggi daripada nilai perusahaan sebelum melakukan divestasi. Dengan kata lain, jumlah nilai asset likuidasi pribadi perusahaan melebihi nilai pasar bila dibandingkan dengan perusahaan pada saat sebelum melakukan divestasi. Hal ini memperkuat keinginan perushaan untuk menjual apa yang seharusnya bernilai berharga daripada terlikuidasi pada saat sebelum divestasi.
            “Keempat, menciptakan stabilitas.

Asas-asas Hukum Divestasi
Pada dasarnya divestasi dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau badan hukum asing yang bergerak dalam bidang pertambangan. Dalam melaksanakan divestasi, Pemerintah Indonesia harus memperhatikan berbagai asas hukum yang tercantum didalam peraturan perundang-undangan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomo 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah telah ditetapkan asas-asas hukum dengan pengelolaan investasi pemerintah. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

a.   Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah di bidang investasi pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan, Badan Investasi Pemerintah, Badan Usaha, Menteri Teknis/Pimpinan Lembaga sesuai fungsi, wewenang dan tanggung jawab masing-masing.

b.      Asas kepastian hukum, yaitu investasi pemerintah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.       Asas efisiensi, yaitu asas pemerintah diarahkan agar dana investasi digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal.

d. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan investasi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

e.       Asas kepastian nilai, yaitu investasi pemerintah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai investasi dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dana dan divestasi serta penyusunan laporan keuangan pemerintah.

Asas-asas dalam hukum divestasi adalah sebagai berikut:

a.       Asas Manfaat
Asas manfaat atau prinsip utilitas merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam Hukum Divestasi. Asas ini, akan melihat apakah transaksi divestasi, baik divestasi aset maupun saham yang dimiliki pemerintah maupun badan hukum asing akan akan memberi manfaat atau faedah atau kegunaan bagi masyarakat Indonesia atau pemilik badan hukum.

b.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini menghendaki kebebasan dari para pihak, yaitu pemerintah atau badan hukum asing dengan pihak lainnya.

c.       Asas Konsesualisme
Asas ini merujuk pada saat terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak dan bentuk perjanjiannya, apakah dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis.

d.      Asas Pacta Sunt Servanda (Asas Kepastian Hukum)
Merupakan asas dimana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak , sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Yang dianalisis dalam transaksi divestasi saham ini adalah berkaitan dengan kekuatan mengikat dari kontrak yang dibuat oleh para pihak.

e.       Asas Itikad Baik
Secara Yuridis, asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi:
            “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Asas itikad baik merupakan asas di mana para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

f.        Asas Kepribadian (Personalitas)
Merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “ Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”

g.       Asas Akuntabilitas
Asas ini melihat pertanggungjawaban dari divestasi yang telah dilakukan oleh pemerintah atau badan hukum asing kepada masyarakat.  

Divestasi Pemerintah

Divestasi mempunyai hubungan yang erat dengan investasi karena yang akan didivestasi adalah investasi yang dimiliki pemerintah.

Investasi pemerintah dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Investasi jangka panjang
2.      Investasi langsung

Landasan Hukum Divestasi Pemerintah
Divestasi merupakan salah satu instrument yang digunakan oleh pemerintah untuk memperoleh dana yang cukup untuk membiayai pembangunan nasional. Untuk melakukan divestasi pemerintah, maka harus ditunjang oleh berbagai perngkat hukum. Perangkat hukum yang mengatur tentang divestasi pemerintah adalah sebagai berikut:

1.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

2.   Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4812);

3.   Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah.

Pasal-pasal yang mengatur tentang divestasi, meliputi:

1.   Pasal 1 angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008, yang berkaitan pengertian divestasi.

2.      Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008, yang berkaitan ruang lingkup pengelolaan inestasi pemerintah. Ruang lingkup pengelolaan investasi pemerintah meliputi:
a.       Perencanaan
b.      Pelaksanaan investasi
c.       Penatausahaan dan pertanggungjawaban investasi
d.      Pengawasan
e.       Divestasi

3.   Pasal 11 ayat (4)huruf 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008, yang berkaitan dengan kewenangan pelaksanaan operasional investasi dan divestasi.

4.  Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 yang berkaitan dengan kewenangan Kepala/direktur Badan Investasi Pemerintah melakukan divestasi.

Subyek dan Obyek Hukum Divestasi
Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi yang telah dijelaskam adalah:

a.Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli;
b.Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga; dan
c.Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli


Subjek Hukum Divestasi
Subjek hukum yang dibahas dalam definisi ini adalah pemerintah dan investor asing. Pemerintah atau pihak pihak lain seperti badan hukum dan lain sebagainya yang dijadikan sebagai subyek bertindak sebagai penjual terhadap pihak lain yang akan menjadi sasaran.
Obyek Divestasi Pemerintah
Obyek kajian hukum divestasi, meliputi pengalihan asset dan/atau saham yang dimiliki oleh pemerintah maupun badan hukum. Apabila dianalisis, maka ruang lingkup kajian hukum divestasi, meliputi divestasi saham dan/atau divestasi asset.
Divestasi saham merupakan pengalihan saham, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun badan hukum asing.
Divestasi asset merupakan ketentuan hukum yang mengatur tentang penjualan asset, baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun yang dimiliki oleh badan hukum.
                Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah telah ditentukan objek divestasi pemerintah. Kedua objek tersebut meliputi:
1.      Surat Berharga;
2.      Kepemilikan Investasi Langsung
Surat berharga terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda, yaitu “waarde papier, sedangkan di Negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah “negotiable instruments”.  Surat berharga itu, yaitu surat tuntutan utang, pembawa hak dan mudah diperjual-belikan.  Surat berharga dibagi menjadi dua macam, yaitu:


1.      Saham
Saham adalah surat bukti pemilikan modal perseroan terbatas yang memberi hak atas dividen dan lainnya.

2.      Surat Utang
Surat utang merupakan surat pengakuan utang, baik yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah. Surat utang dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1.      Surat Utang Swasta
2.      Surat Utang Negara (SUN)
Surat utang swasta merupakan surat pengakuan utang yang dijaminkan pembayaran bunga dan pokoknya oleh pihak swasta itu sendiri.

Surat Utang Negara (SUN) diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. Surat Utang Negara adalah:

           “surat berharga yang berupa surat pengakuan utang yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara RI sesuai masa berlakuknya.”

Penjualan kepemilikan investasi langsung, meliputi:
1.      Penjualan kepemilikan atas penyertaan modal
2.      Pemberian pinjaman 
       
       Penyertaan modal adalah bentuk investasi pemerintah pada badan usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian perseroan terbatas. 
       Pemberian pinjaman adalah bentuk investasi pemerintah pada:
1.      Badan usaha
2.      Badan Layanan Umum (BLU)
3.      Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
4.      Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dengan hak memperoleh pengembalian berupa pokok , pinjaman, bunga, dan biaya lainnya.

Referensi :
  • Dr.H.Salim HS,S.H., M.S., Erlis Septiana. Hukum Divestasi Di Indonesia (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 2/SKLN-X/2012). Jakarta (2012): PT RajaGrafindo Persada.
  • Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta (2004): Penerbit Sinar Grafika
  • Wibowo Tunardy . Sumber-sumber Hukum. (Online). Tersedia http://www.jurnalhukum.com/sumber-sumber-hukum/ [20 Maret 2016]
  • http://kbbi.web.id/hukum [20 Maret 2016]
  • https://www.academia.edu/8356001/Sumber-Sumber_Hukum [20 Maret 2016]
  • http://elearning.gunadarma.ac.id [14 April 2016]
  • www.hukumacaraperdata.com [14 April 2016]
  • http://www.oocities.org/imamindrap/articles/indosat.html [14 April 2016]




Share:

Het Ontkleden Recht I

Peraturan Untuk Mahluk Berakal oleh Mahluk Berakal yang Berkuasa Atasnya

Abstrak :

Manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT memiliki kehendak bebas. Untuk itu kehendak bebas perlu dibatasi agar tidak melanggar hak-hak manusia lainnya dan mahluk ciptaan Allah lainnya. Oleh karena itu, diperlukan hukum untuk mengatur dan membatasi kehendak bebas dari manusia. Tujuan hukum sebagai alat pengendalian masyarakat agar tidak melakukan penyimpangan. Dan selain itu hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. Mengingat tentang kehendak, kita di bawa kembali ke akhir tahun 2002, pemerintah berkehendak melakukan divestasi 41,94% saham PT Indonesia Satellite Corporation, Tbk (Indosat), yang akhirnya dijual kepada STT (Singapore Telecom and Telemedia). Karena kehendak perlu dibatasi dengan sebuah hukum dan peraturan, kita perlu tau terlebih dahulu apa sebenarnya divestasi itu? Dan bagaimana pandangan mengenai divestasi dari aspek hukum?.  

Pengertian Hukum
Istilah hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut recht. Pandangan ahli tentang hukum berbeda antara satu dengan yang lainnya. John Austin (1790-1859), seperti dikutip oleh W.Friedman, mengartikan hukum sebagai:

“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh mahluk yang berakal yang berkuasa atasnya.”

   Austin membagi hukum menjadi dua macam, yaitu:
1.      Hukum Tuhan; dan
Hukum Tuhan tidak mempunyai fungsi yuridis, namun hukum Tuhan hanya berfungsi menjadi wadah-wadah kepercayaan utilitarian, yaitu pada prinsip kegunaanya.
2.      Hukum manusia (undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia).

Hukum manusia dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Hukum positif (undang-undang atau hukum yang sebenarnya)
2.      Hukum yang tidak sebenarnya.
Hukum positif merupakan undang-undang yang diadakan oleh kekuasaan politik (apakah yang tertinggi atau bawahan) untuk orang-orang politis merupakan bawahannya (seperti undang-undang khusus), atau peraturan-peraturan yang diadakan oleh orang-orang, sebagai pribadi, berdasarkan hak-hak yang sah yang diberikan kepadanya.  Empat ciri hukum positif, yaitu:

1.Perintah
2.Sanksi
3.Kewajiban
4.Kedaulatan


Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
hukum/hu·kum/ n 1 peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2 undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3 patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; 4 keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis;
Banyak sekali pengertian hukum  jika kita meninjau dari pendapat para ahli. Para penulis Ilmu Pengetahuan Hukum sependapat dengan Prof. van Apeldoorn, seperti Prof. Sudiman Kartohadiprodji, SH. menulis sebagai berikut, “….jikalau kita menanyakan apakah yang dinamakan Hukum, maka kita akan menjumpai tidak adanya persesuaian pendapat. Berbagai permasalahan perumusan yang dikemukakan.
Sehingga untuk pengertian hukum dalam tulisan saya, saya mengambil presepsi dari pendapat John Austin (1790-1859), sebagaimana yang telah dijelaskan di paragraph awal. Sehingga jelas hukum yang dibuat oleh manusia juga diperuntukan untuk dirinya sendiri dan juga manusia lainnya yang tidak berkuasa atas pembuatan hukum tersebut. Sebagai contoh, dilihat dari sisi pemerintahan kita tahu bahwa terdapat tim khusus pembuat peraturan hukum di Indonesia yaitu undang-undang yang dilakukan oleh badan legislatif, yang akan di setujui oleh pemerintah. Kita sebagai mahluk berakal yang tidak berkuasa atas pembuatan hukum tersebut hanya mampu mengikuti dan mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah (mahluk berakal yang lebih berkuasa atas kita).

Unsur-unsur Hukum
1) Peraturan mengenai tingkah laku dalam pergaulan masyarakat;
2) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3) Peraturan itu pada umumnya bersifat memaksa, dan
4) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Ciri-ciri Hukum
1) Adanya perintah dan/atau larangan
2) Perintah dan/atau larangan itu harus ditaati setiap orang.

Sifat Hukum
Telah di bahas di abstrak mengenai sifat dasar manusia yang diciptakan oleh Allah SWT yang memiliki kehendak bebas maka, perlu adanya hukum untuk membatasi kehendak bebas tersebut agar tidak merugikan manusia lainnya. Untuk membatasi kehendak tersebut, hukum memiliki sifat yang mengatur dan memaksa. Artinya, mau tidak mau masyarakat harus mematuhinya dan mau diatur olehnya, dan jika tidak akan mendapat sanksi yang telah disertakan dalam pembuatan hukum tersebut.
Dan pembuatan peraturan atau sebuah hukum juga harus bisa diterima oleh masyarakat, artinya sesuai dan tidak betentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat. Dengan demikian, kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan harmonis dan tetap adil, jika hukum dipatuhi dan tidak terdapat kecurangan dalam pemberian sanksinya.

Tujuan Hukum dan Sumber-sumber Hukum
Tujuan hukum menurut para ahli adalah sebagai berikut:

Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.
Dalam bukunya "Perbuatan Melanggar Hukum" mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagian dan tata tertib dalam masyarakat.

Prof. Mr. Dr. L.J. Apeldoorn
Dalam bukunya "Inleiding tot de studie van het Nederlandserecht", Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil.
Untuk mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan pertimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Van Apeldoorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori hukum, teori etis dan utilitis.

Aristoteles
Dalam bukunya "rhetorica" mencetuskan teorinya bahwa, tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil. 

Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci & luhur, ialah keadilan dengan memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima yang memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Oleh karenanya hukum harus membuat apa yang dinamakan "Algemeene regels" (peraturan/ ketentuan-ketentuan umum). Peraturan ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi kepentingan kepastian hukum, meskipun pada suatu waktu dapat menimbulkan ketidakadilan.

Berdasarkan peraturan-peraturan umum pada kasus-kasus tertentu hakim diberi wewenang untuk memberikan keputusan. Jadi penerapan peraturan umum pada kasus-kasus yang konkret diserahkan pada hakim, maka dari itu tiap-tiap peraturan umum harus disusun sedemikian rupa sehingga hakim dapat/ diberi kesempatan untuk melakukan penafsiran di pengadilan.

Teori Etis
Teori yang mengajarkan bahwa hukum itu semata-mata menghendaki keadilan. Menurut teori etis, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.

Teori Utilitis (Bentham)
Jeremy Bentham dalam bukunya “Introduction to the morals and legislation” berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang.
Menurut teori utilitis, tujuan hukum ialah menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan merupakan tujuan utama daripada hukum.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan hukum sebagai alat pengendalian masyarakat agar tidak melakukan penyimpangan. Dan selain itu hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.

Sumber-sumber Hukum
Segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang memaksa, yakni aturan-aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata merupakan pengertian sumber hukum secara umum.

·         Pengertian Sumber Hukum menurut perspektif sosiologis adalah faktor-faktor yang benar-benar menyebabkan hukum benar-benar berlaku. Faktor-faktor tersebut ialah fakta-fakta dan keadaan-keadaan yang menjadi tuntutan sosial untuk menciptakan hukum.

·         Pengertian Sumber Hukum dari sudut pandang filsufis yaitu dalam arti mengenai keadilan yang merupakan esensi hukum. Oleh karena itu berdasarkan pengertian sumber hukum ini, sumber hukum menetapkan kriterium untuk menguji apakah hukum yang berlaku sudah mencerminkan keadilan dan fairness. Sejak didirikannya mazhab historis terdapat pandangan bahwa sumber esensi hukum adalah kesadaran sosial akan hukum. Dengan demikian sumber hukum menyangkut faktor-faktor politik, ekonomi, budaya dan sosial.

·    Pengertian Sumber Hukum dalam pola pikir Eropa Kontinental dalam arti formal ialah hukum yang bersifat oprasional artinya yang berhubungan langsung dengan penerapan hukum.

·     Menurut sejarawan hukum, sumber hukum yaitu dalam arti sumber tempat orang-orang untuk mengetahui hukum ialah semua sumber-sumber tertulis dan sumber-sumber lainnya yang dapat diketahui sebagai hukum pada saat, tempat dan berlaku bagi orang-orang tertentu.

Secara garis besar sumber hukum dibagi menjadi 2:

1.      Sumber hukum materiil
2.      Sumber hukum formal

Sumber hukum materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut , misalnya ekonomi, sejarah, sosiologi dan filsafat. Sedangkan sumber hukum formal adalah:

1.      Undang-undang (statue)
Undang-undang merupakan suatu peraturan Negara yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
2.      Kebiasaan (costum)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan diterima oleh masyarakat. Sehingga perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap perasaan hukum yang terdapat dimasyarakat.
3.      Keputusan-keputusan Hakim (jurisprdensi)
Kehadiran keputusan hakim atau yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dimulai pada masa Hindia Belanda.  Pada masa tersebut yang menjadi peratuuran pokok adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia) atau yang disingkat AB. Pasal 23 AB menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mnegadili. Dengan demikian seorang hakim berhak untuk membuat peraturan sendiri demi menyelesaikan suatu perkara.
4.      Traktat
Apabila dua orang sepakat untuk melakukan sesuatu, maka mereka harus tunduk pada kesepakatan yang telah mereka buat tersebut. Asas ini dikenal dengan sebutan pacta sunt servanda. Pada tingkat yang lebih tinggi, yakni tingkat Negara asas tersebut juga berlaku. Apabila dua Negara melakukan perjanjian atau traktat, maka seluruh warga kedua Negara tersebut harus mentaati isi traktat tersebut.
5.      Pendapat Sarjana Hukum (doktrin)
Doktrin berkaitan erat dengan jurisprudensi. Dalam memutus suatu perkara, hakim sering kali mengutip pendapat para sarjana yang dipandang memiliki kemampuan dalam persoalan yang ditanganinya. Sehingga doktrin atau pendapat para sarjana yang ternama mempengaruhi keputusan hakim.

Peraturan Perundangan Negara Republik Indonesia
1.      Masa Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Berdasarkan pada sumber Undang- Undang Sementara 1950 dan Konstitusi RIS-1949, peraturan perundangan di Indonesia terdiri dari:
a.       Undang-Undang Dasar (UUD)
UUD ialah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan memuat garis-garis besar dasar dan tujuan Negara. Surat UUD dibentuk oleh suatu badan tertentu yang khusus untuk itu, seperti:
-  Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menetapkan UUD 1945
- Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut ketentuan UUND 1945
- Konstituante dan Pemerintah menrut ketentuan UUD 1950 dan Konstitusi RIS 1949.
b.      Undang-Undang (biasa) dan Undang-Undang Darurat
Undang- undang biasa ialah peraturan Negara yang diadakan untuk menyelenggarakan pemerintah pada umumnya yang dibentuk berdasarkan dan untuk melaksanakan UUD. Menurut UUDS 1950 pasal 89 UU dibentuk oleh Pemerintah bersama-sama DPR.
c.       Peraturan Pemerintah tingkat Pusat
Adalah suatu peraturan dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan suatu Undang-undang.
d.      Peraturan Pemerintah tingkat Daerah
Adalah semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah setempat untuk melaksanakan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi derajatnya.

2.      Masa Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Peraturan perundangan Republik Indonesia dikeluarkan harus berdasarkan dan/atau melaksanakan Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Bentuk-bentuk dan tata urutan peraturan perundangan Republik Indonesia sekarang ini menurut Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (dikuatkan oleh Ketetapan MPR No. V/MPR/1973) adalah sebagai berikut:
a.       Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR)
c.  Undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (PERPU)
d.      Peraturan Pemerintah (PP)
e.       Keputusan Presiden (KEPPRES)
f.        Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya

Kodifikasi Huku
Kodifikasi hukum muncul dari negara perancis (Code Civil dan Code Napoleon)
Kodifikasi adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.

Menurut bentuknya, hukum itu dapat dibedakan antara :
1. Hukum Tertulis (Statute Law = Written Law)
 yakni hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan-perundangan.
2. Hukum Tidak Tertulis (Unstatutery Law = Unwritten Law )
 yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu perundang-undangan (disebut juga hukum kebiasaan).

Unsur-unsur kodifikasi ialah
a) Jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum perdata)
b) Sistematis
c) Lengkap

Adapun tujuan kodifikasi daripada hukum tertulis adalah untuk memperoleh
1.                  Kepastian Hukum
Bersifat mengikat dan berlaku bagi setiap individu
2.                  Penyederhanaa Hukum
Simple dan sederhana, tidak bersifat ambigu, mudah dipahami, pasal tidak terlalu banyak, sehingga tidak menimbulkan persepsi yang beragam pula – Cara penyederhanaan hukum adalah dengan cara mengikuti aturan teknis dalam UU yang bersangkutan, yakni UU no 12 tahun 2011
3.                  Kesatuan Hukum
Jika suatu hukum membahas tentang suatu perkara, maka perkara itu saja yang dibahas, tidak melebar ke perkara yang lainnya - Contoh : Hukum Bea dan Cukai mengatur peraturan tentang kepabeanan dan cukai saja, sedangkan pajak dan anggaran negara tidak dibahas di dalamnya.

Contoh Kodifikasi Hukum 
Di Eropa
1. Corpus Iuris Civilis
 (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh kaisar Justianus dari kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527 – 565.
2. Code Civil 
 (mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis dalam tahun 1604.

Di Indonesia
1. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (01 Mei 1848)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (01 Mei 1848)
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (01 Januari 1918)
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), 31 Desember 1981.

Aliran-aliran yang muncul setelah kodifikasi hukum :
1. Legisme
- Hukum adalah undang-undang - Di luar undang-undang tidak ada hukum
2. Freie Rechslehre
- Hukum ada di dalam masyarakat
3. Rechsvinding
             - Gabungan 2 aliran (legisme dan freie) - Hukum diselaraskan dengan keadaan hukum             di masyarakat

Macam-macam Pembagian Hukum
Hukum dibagi menjadi beberapa golongan menurut beberapa asas pembagian, yaitu:

A.      Pembagian Hukum Menurut Asas Pembagiannya


1.    Menurut Sumbernya: Hukum Undang-undang, Hukum Kebiasaan, Hukum Traktat, Hukum Jurispudensi
2.      Menurut Bentuknya: Hukum Tertulis, Hukum Tak Tertulis
3.   Menurut Tempat Berlakunya Hukum : Hukum Nasional, Hukum Internasional, Hukum Asing, Hukum Gereja
4.    Menurut Waktu Berlakunya: Ius Contitutum (Hukum Positif), Ius Constituendum (Hukum yang diharapkan waktu yang akan datang), Hukum Asasi
5.      Menurut Cara Mempertahankan: Hukum Material, Hukum Formal atau Hukum Acara
6.      Menurut Sifatnya: Hukum yang Memaksa, Hukum yang Mengatur
7.      Menurut Wujudnya: Hukum Objektif, Hukum Subjektif
8.      Menurut Isinya: Hukum Privat, Hukum Publik

   B.      Hukum Sipil dan Hukum Publik

1.      Hukum Sipil
Hukum sipil dalam artian luas meliputi hukum perdata dan hukum dagang
Hukum sipil dalam artian sempit meliputi hukum perdata saja
2.      Hukum Publik
a.       Hukum Tata Negara
b.      Hukum Administrasi Negara
c.       Hukum Pidana
d.      Hukum Internasional


Share: