Kamis, 27 November 2014

Bisnis Indonesia di Kancah Internasional

 
Bisnis Indonesia Dalam Kancah International

Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan sebuah tantangan yang tidak ringan. Daya saing ini sendiri sangat berkaitan dengan SDM (Sumber Daya Manusia). Semakin bagus kwalitas SDM-nya semakin bagus pula dia dalam bersaing. Lalu bagaimana dengan bisnis Indonesia dan juga sumber daya manusianya? Sedangkan, dalam artikel sebelumnya telah dibahas mengenai pengangguran. Nah, Indonesia masih dinilai gagal dalam menciptakan generasi pebisnis yang andal, dan hanya sebagian kecil saja. Sedangkan lapangan kerja semakin sempit, namun semakin banyak pengangguran. Seharusnya para generasi penerus bangsa mampu melihat celah ini. Masi banyak lahan kosong yang dijadikan sumber penghasilan sendiri.  Dengan demikian semakin berkembangnya dunia bisnis di Indonesia dengan banyaknya para pengusaha yang handal dan juga para sdm yang sangat terampil akan membawa Indonesia menjadi salah satu Negara yang dapat diperhitungkan keberadaanya dalam prestasi bisnis dunia. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing yang tinggi niscaya produk suatu Negara, tidak akan mampu menembus pasar International. Bahkan dengan banyaknya produk impor yang masuk ke Indonesia dapat mengancam posisi pasar domestic. Dengan demikian keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupaka factor yang desesif dalam peningkatan kinerja perusahaan. Oleh karena itu meningkatkan daya saing dalam dunia International tidak dapat ditunda-tunda lagi, dan harus menjadi sebuah perhatian khusus. Bukan hanya dari para pelaku bisnis tetapi juga aparat birokrasi, organisasi, dan masyarakat yang berada di lingkungan kerja. Untuk itu Indonesia perlu memfokuskan dunia pendidikan. Terlebih bagus lagi dalam setiap jenjang sekolah, baik dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi diadakan mata pelajaran/mata kuliah wajib dalam segal bidang mengenai bisnis. Karena, dengan pengenalan dini mengenai dunia bisnis akan membawa mind set sesorang mengarah pada dunia usaha sejak dini. Dengan pembentukan karakter individu. Dengan perkembangan bisnis di Negara Indonesia akan membuat perekonomian Negara lebih maju, dan dianggap oleh Negara lain.  


Indonesia sangat masi lemah dalam daya saing dunia bisnis maupun perdagangan atau bahkan dirugikan akibat daya saing yang lemah dalam dunia global. Padahal Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia, namun hingga kini belum menjadi “raja” dalam penentuan harga dan kuota produksi CPO dunia. Demikian pula seperti hasil hasil alam lain, contohnya pertanian, Indonesia merupakan Negara agraris, namun hingga saat ini sebagian besar beras saja masih import. Apakah pantas menyandang gelar Negara Pertanian? , dari sini dapat dilihat seharusnya produk luar negeri yang bisa dibuat didalam negeri justru merajai pasar Indonesia dan menggusur keberadaan produk dalam negeri.
Indonesia sebagai pasar terbesar di lingkungan ASEAN seharusnya punya bargaining position atau daya tawar yang untuk melindungi produknya. Jangan hanya produk luar negeri yang bebas keluar masuk Indonesia, sedang produk Indonesia sendiri menghadapi hambatan ketika beroperasi di pasar asing terutama di pasar tetangga di lingkungan ASEAN. Dengan banyaknya produk luar negeri yang membanjir di Indonesia mengakibatkan produk dalam negeri pun mati. Dan ini memicu semangat masyarakat menurun untuk melanjutkan bisnisnya, karena merasa tidak mampu bersaing.
Dan pada tahun 2015 dicanangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang memberlakukan pasar bebas dikalangan Negara ASEAN. Jika saja pemerintah tidak memperhatikan kemampuan daya saing rakyatnya, maka ini akan menjadi dampak yang buruk untuk Negara sendiri. Semakin banyaknya pengangguran dan kemiskinan pada rakyat di Negara sendiri, sedang semakin kayanya warga Negara asing dilingkungan Indonesia. Seyogyanya Pemerintah Indonesia lebih dahulu mengambil langkah-langkah tepat, guna memajukan industri dan kemampuan rakyatnya, setelah siap bersaing baru mengikuti MEA. 


 



Berdasarkan informasi yang saya dapat dari (Kompas,9/1/14).
  
Sebagai perbandingan, mari lihat statistik umum gambaran kasar daya saing rakyat Indonesia. Pertama, dari faktor indeks pembangunan manusia Indonesia. Di tahun 2013 Indonesia menempati urutan ke-121, sementara negara tetangga seperti Singapura (18), Malaysia (64), dan Brunei (30). Bahkan Indonesia masih kalah dari Filipina yang berada di urutan 114.
  
Kedua, dari faktor daya saing industri Indonesia di mata global. Menurut data dari Pusat Penelitian Ekonomi LIPI daya saing ekonomi Indonesia di tahun 2013 stagnan (macet, jalan di tempat). Posisi Indonesia hanya naik ke urutan 128 dari 129 di antara negara-negara dan merupakan negara yang mengalami peningkatan upah minimum tertinggi di tahun 2013.
  
Ketiga, perlindungan atas produk dalam negeri. Indonesia merupakan negara yang menetapkan bea masuk amat rendah di dunia dan membuka pintu gerbang sebesar-besarnya bagi produk asing. Tidak masalah hal tersebut diterapkan asal Indonesia sudah punya fundamen kuat berupa kemampuan untuk menghasilkan produk berkualitas dan murah. Jadi, walaupun banyak produk asing, tidak khawatir produk dalam negeri tidak laku dan tersingkir.
  
Begitu pula di sektor pertanian, Indonesia masih berkutat pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Beras, jagung, garam, kedelai banyak diimpor dari luar negeri, padahal Indonesia mampu untuk memproduksi hasil pertanian seperti itu guna memenuhi kebutuhan makan rakyatnya.

Semua itu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam menata arah pembangunan ekonomi Indonesia.

Karena, umumnya kebijakan dan keputusan yang dibuat rata-rata sebagai reaksi terhadap masalah yang muncul secara spontan, namun dalam waktu yang bersamaan tidak disiapkan langkah-langkah tepat dan cermat untuk mengantisipasi jika masalah serupa terulang. Krisis daging, bawang, kedelai, beras adalah beberapa contoh betapa pemerintah mengandalkan obat impor tanpa membarengi dengan langkah-langkah jangka panjang agar di lain waktu ketika krisis datang bisa mengatasinya dengan kemampuan sendiri secara mandiri.

Kebijakan Pemerintah Indonesia melarang ekspor bahan mentah patut diapresiasi, karena itu merupakan pangkal bagi Indonesia menuju kemandirian mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi, dan tentu menambah pemasukan negara.
  
Nilai ekspor Indonesia antara Januari-November 2013 senilai US$ 165,7 miliar (Kompas, 9/1/14) mungkin akan bisa melebihi US$ 200 miliar bila pemerintah benar-benar memperbaiki daya saing ekonomi Indonesia.
  
Nah, dalam kasus yang terjadi tersebut. Sehrusnya menjadi PR pemerintah sekarang, agar berhati-hati dalam mengambil keputusan. Dan untuk masyaraktnya, tetaplah menjadi jiwa Indonesia dan jangan kebarat-baratan. Ambilah saja ilmu positifnya.


Share:

Related Posts:

0 comment:

Posting Komentar