Jumat, 03 Juni 2016

Asuransi




Bereksplorasi dengan Asuransi



Sejarah, Dasar Hukum, dan Rumusan Perjanjian Asuransi

Asuransi berasal mula dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Kemudian pada tahun 1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
Asuransi di Indonesia berawal pada masa penjajahan Belanda, terkait dengan keberhasilan perusahaan dari negeri tersebut di sektor perkebunan dan perdagangan di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan jaminan terhadap keberlangsungan usahanya, tentu diperlukan adanya asuransi.
Keberadaan hukum asuransi di Indonesia berakar dari Kodifikasi Hukum Perdata (Code Civil) dan Hukum Dagang (Code de Commerce) pada permulaan abad kesembilanbelas semasa pemerintahan kaisar Napoleon di Perancis. Pada waktu itu, Hukum Dagang Belanda hanya memuat pasal-pasal mengenai asuransi laut sampai diundangkannya rancangan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wet Boek van Koophandel) tahun 1838 yang memuat peraturan-peraturan mengenai asuransi kebakaran, asuransi hasil bumi dan asuransi jiwa. Sistem inilah yang juga dianut untuk Hindia Belanda dahulu yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia.

Bisnis Asuransi dan Perjanjiannya

Di Indonesia, undang-undang yang mengatur asuransi sebagai sebuah bisnis untuk pertama kalinya lahir pada tahun 1992 dengan disahkannya UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Sebelum lahirnya UU Nomor 2 Tahun 1992, asuransi sebagai bisnis diatur melalui berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Kepres) berserta peraturan di bawahnya. Untuk membedakan pengaturan asuransi sebagai sebuah bisnis dari pengaturan asuransi sebagai sebuah perjanjian, selanjutnya, UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian akan disebut UU Bisnis Asuransi.

UU Bisnis Asuransi mengatur asuransi sebagai sebuah bisnis dengan membuat aturan mengenai perizinan, pengelolaaan dan peranan pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan usaha perasuransian, Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 UU Bisnis Asuransi, Undang-undang ini menggantikan Ordonnantie op het Levensverzekering bedrijf  (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101) yang dinyatakan tidak berlaku lagi sejak disahkannya undang-undang tersebut. Pelaksanaan UU Bisnis Asuransi diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 (selanjutnya disebut PP Nomor 73 Tahun1992). Sebagaimana  dicantumkan  dalam  Pasal 46 PP Nomor 73 Tahun 1992 tersebut, dengan  ditetapkannya  Peraturan  Pemerintah  ini,  KepPres Nomor 40 Tahun 1988 tentang Usaha Di Bidang Asuransi Kerugian dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (selanjutnya disebut PP Nomor 63 Tahun 1999) tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 yang menggantikan sebagian ketentuan  PP Nomor 73 Tahun 1992. Perubahan kedua diberlakukan melalui PP Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992. Terakhir, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 81 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992. Masing-masing Peraturan Pemerintah tersebut di atas diikuti berbagai KepMen Keuangan (selanjutnya disebut Kepmen) dan PerMen Keuangan (selanjutnya disebut PerMen) dan berbagai keputusan di bawahnya yang semuanya menjadi peraturan pelaksanaan pengelolaan, pembinaan dan pengawasan bisnis asuransi Indonesia.

Perusahaan asuransi dengan mengadakan perjanjian-perjanjian asuransi dan nanti pada suatu saat perusahaan asuransi melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian. Dalam hal ini perusahaan berfungsi sebagai lembaga penerima dan pengambil risiko pihak lain. Pembayaran sejumlah uang yang disebut premi merupakan penerimaan dan pengambilalihan risiko oleh perusahaan asuransi. Kumpulan dana yang relatif menjadi sangat besar dari pembayaran premi yang diterima perusahaan dapat dimanfaatkan untuk operasional perusahaan.

Perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan yang spesifik dan pasti yang berkisar pada manfaat ekonomi bagi kedua pihak yang mengadakan perjanjian. Sampai saat ini di Indonesia secara umum, perjanjian asuransi diatur dalam dua kodifikasi, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Dalam KUH Perdata, perjanjian asuransi diklasifikasikan sebagai salah satu dari yang termasuk perjanjian untung-untungan sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1774. Pasal pertama KUH Dagang yang mengatur perjanjian asuransi dimulai dalam pasal 246 yaitu yang memberikan batasan perjanjian asuransi.

Jadi meskipun perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan secara umum oleh KUH Perdata disebutkan sebagai salah satu bentuk perjanjian untung-untungan, sebenarnya merupakan satu penerapan yang sama sekali tidak tepat. Peristiwa yang belum pasti terjadi itu merupakan syarat baik dalam perjanjian untung-untungan maupun dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan. Perjanjian itu diadakan dengan maksud untuk memperoleh suatu kepastian atas kembalinya keadaan atau ekonomi sesuai dengan semula sebelum terjadi peristiwa. Batasan perjanjian asuransi secara formal terdapat dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

Suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian karena kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang akan dapat diderita olehnya, karena suatu kejadian yang belum pasti. Perjanjian asuransi atau pertanggungan itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
  1. a. Perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian penggantian kerugian (shcadeverzekering atau indemniteits contract). Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (prinsip indemnitas).
  2. b. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian bersyarat.
  3. c. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian timbal balik.
  4. d. Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan.
Perjanjian asuransi sebagai perjanjian yang bertujuan memberikan proteksi. Dapat dilihat dari batasan pasal 246 KUHD, lebih lanjut ditelaah unsur-unsur sebagai berikut:
  1. 1. Pihak pertama ialah penanggung, yang dengan sadar menyediakan diri untuk menerima dan mengambil alih risiko pihak lain.
  2. 2. Pihak kedua adalah tertanggung, yang dapat menduduki posisi tersebut dalam perorangan, kelompok orang atau lembaga, badan hukum termasuk perusahaan atau siapapun yang dapat menderita kerugian.
Untuk menyatakan kapan perjanjian asuransi yang dibuat oleh tertanggung dan penanggung itu terjadi dan mengikat kedua pihak, dari sudut pandang ilmu hukum terdapat 2 (dua) teori perjanjian tersebut:
  1. 1. Teori tawar-menawar (bargaining thoery). Menurut teori ini, setiap perjanjian hanya akan terjadi antara kedua belah pihak apabila penawaran (offer) dari pihak yang satu dihadapkan dengan penerimaan (acceptance) oleh pihak yang lainnya dan sebaliknya. Keunggulan toeri tawar-menawar adalah kepastian hukum yang diciptakan berdasarkan kesepakatan yang dicapai oleh kedua pihak dalam asuransi antara tertanggung dan penanggung.
  2. 2. Teori penerimaan (acceptance theory). Dalam hukum Belanda, teori ini disebut ontvangst theorie mengenai saat kapan perjanjian asuransi terjadi dan mengikat tertanggung dan penanggung, tidak ada ketentuan umum dalam undang-undang perasuransian, yang ada hanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak (pasal 1320 KUH Perdata). Menurut teori penerimaan, perjanjian asuransi terjadi dan mengikat pihak-pihak pada saat penawaran sungguh-sungguh diterima oleh tertanggung. Atas nota persetujuan ini kemudian dibuatkan akta perjanjian asuransi oleh penanggung yang disebut polis asuransi.
Perjanjian asuransi yang telah terjadi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis (pasal 255 KUHD). Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa asuransi telah terjadi. Untuk mengatasi kesulitan jika terjadi sesuatu setelah perjanjian namun belum sempat dibuatkan polisnya atau walaupun sudah dibuatkan atau belum ditandatangi atau sudah di tandatangi tetapi belum diserahkan kepada tertanggung kemudian terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian tertanggung. Pada pasal 257 KUHD memberi ketegasan, walaupun belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi sejak tercapai kesepakatan antara tertanggung dan penanggung. Sehingga hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung timbul sejak terjadi kesepakatan berdasarkan nota persetujuan. Bila bukti tertulis sudah ada barulah dapat digunakan alat bukti biasa yang diatur dalam hukum acara perdata. Ketentuan ini yang dimaksud oleh pasal 258 ayat (1) KUHD. Syarat-syarat khusus yang dimaksud dalam pasal 258 KUHD adalah mengenai esensi inti isi perjanjian yang telah dibuat itu, terutama mengenai realisasi hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung seperti: penyebab timbul kerugian (evenemen); sifat kerugian yang menjadi beban penanggung; pembayaran premi oleh tertanggung; dan klausula-klausula tertentu.

Perjanjian asuransi, pada dasarnya merupakan suatu perjanjian yang mempunyai karakteristik yang dengan jelas akan memberikan suatu ciri khusus, apabila dibandingkan dengan jenis perjanjian yang lain. Hal ini secara jelas dibahas dalam buku-buku Anglo Saxon yang secara umum diberikan adalah:
  1. 1. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aletair (aleatary), merupakan perjanjian, yang prestasi penanggung masih harus digantungkan pada peristiwa yang belum pasti, sedangkan prestasi tertanggung sudah pasti. Dan meskipun tertanggung sudah memenuhi prestasinya dengan sempurna, pihak penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata.
  2. 2. Perjanjian asuransi adalah perjajian bersyarat (Conditional), merupakan suatu perjanjian yang prestasi penanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian dipenuhi.
  3. 3. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat sepihak (unilateral), hanya satu pihak saja yang memberikan janji yaitu pihak penanggung. Penanggung memberikan janji akan mengganti suatu kerugian, apabila pihak tertanggung sudah membayar premi dan polis sudah berjalan, sebaliknya tertanggung tidak menjanjikan suatu apapun.
  4. 4. Perjanjian asuransi adalah perjajian yang bersifat pribadi (personal), kerugian yang timbul harus merupakan kerugian orang perorangan, secara pribadi, bukan kerugian kolektif ataupun kerugian masyarakat luas.
  5. 5. Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat penanggung (adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada hakikatnya syarat dan kondisi perjanjian hampir seluruhnya ditentukan diciptakan oleh penanggung/perusahaan asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau menawar.
  6. 6. Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat iktikad baik yang sempurna, perjanjian asuransi merupakan perjanjian dengan keadaan bahwa kata sepakat dapat tercapai/negoisasi dengan posisi masing-masing mempunyai pengetahuan yang sama mengenai fakta, dengan penilaian sama penelaahannya untuk menperoleh fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas dari cacat-cacat tersembunyi.
Sedangkan untuk syarat khusus bagi perjanjian asuransi harus memenuhi ketentuan-ketentuan dalam buku I Bab IX KUH Dagang, ialah:
  1. 1. Asas indemnitas adalah satu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri. Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik ialah untuk memberi suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung.
  2. 2. Asas kepentingan yang dapat diasuransikan merupakan asas utama kedua dalam perjanjian asuransi/pertanggungan. Maksudnya adalah bahwa pihak tertanggung mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadinya dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian.
  3. 3. Asas kejujuran yang sempurna dalam perjanjian asuransi, lazim juga dipakai istilah-istilah lain yaitu: iktikad baik yang sebaik-baiknya. Asas kejujuran ini sebenarnya merupakan asas bagi setiap perjanjian, sehingga harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.
  4. 4. Asas subrogasi bagi penanggung meskipun tidak mempengaruhi sah atau tidaknya perjanjian asuransi, perlu dibahas, karena merupakan salah satu asas perjanjian asuransi yang selalu ditegakkan pada saat-saat dan keadaan tertentu dalam rangka menerapkan asas pertama perjanjian asuransi ialah dalam rangka tujuan pemberian ganti rugi ialah asas indemnitas.
Proteksi yang dijanjikan kepada tertanggung akan dipenuhi oleh penanggung perjanjian asuransi, apabila syarat-syarat agar penanggung bersedia memenuhi tanggung jawabnya dengan melaksanakan prestasinya adalah: Adanya peristiwa yang tidak tertentu, Hubungan sebab akibat, Apakah ada yang memberatkan risiko, Apakah ada cacat atau kebusukan atau sifat kodrat dari barang, Kesalahan tertanggung, dan Nilai yang diasuransikan.

Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur dalam undang-undang, mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik tahap awal, selama perjanjian berlaku dalam masa pelaksanaan perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti yang sangat penting di dalam perjanjian asuransi, meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya perjanjian, karena polis merupakan satu-satunya alat bukti bagi tertanggung terhadap penanggung.

Unsur dalam Asuransi

Asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan untung–untungan (kans-overeenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu”.
Beberapa hal penting mengenai asuransi:
  1. 1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
  2. 2. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
  3. 3. Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima tanggungan;
  4. 4. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk diadakan perjanjian asuransi;
  5. 5. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk melaksanakan kewajibannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus ada pada Asuransi adalah:
  1. a. Subyek hukum (penanggung dan tertanggung);
  2. b. Persetujuan bebas antara penanggung dan tertanggung;
  3. c. Benda asuransi dan kepentingan tertanggung;
  4. d. Tujuan yang ingin dicapai;
  5. e. Resiko dan premi;
  6. f. Evenemen (peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
  7. g. Syarat-syarat yang berlaku;
  8. h. Polis asuransi.

Jenis-jenis Asuransi 
Asuransi Kerugian
Asuransi kerugian merupakan mekanisme proteksi atau perlindungan dari resiko kerugian keuangan dengan cara mengalihkan resiko kepada pihak lain. Macam-macam asuransi kerugian:
  • a. Asuransi Kendaraan Bermotor
  • b. Asuransi Kebakaran
  • c. Asuransi Pengangkutan
  • d. Asuransi Pembongkaran
  • e. Asuransi Mesin-mesin Pabrik
  • f. Asuransi Peralatan Elektronik
  • g. Asuransi Kecelakaan
  • h. Asuransi Kesehatan  
  • i. Dan lain sebagainya

Asuransi Jiwa
Saat ini ada tiga jenis produk asuransi jiwa yang digunakan oleh perusahaan asuransi jiwa di Indonesia. Produk-produk tersebut adalah:
  1. 1. Asuransi term life (berjangka) berfungsi untuk memberi proteksi kepada tertanggung dalam jangka waktu tertentu saja.
  2. 2. Asuransi whole life (seumur hidup) adalah produk asuransi yang memberikan manfaat proteksi hingga 99 tahun.
  3. 3. Asuransi Endowment  adalah asuransi (dwiguna) yang merupakan asuransi jiwa berjangka dan juga tabungan. Ini berarti bahwa para pemegang polis bisa mendapatkan nilai tunai dari premi asuransi yang sudah dibayar dan bisa menarik polis asuransi dalam waktu tertentu sebelum masa kontrak berakhir.

Resiko dan Perjanjian Asuransi

Risiko
Menurut KUHD pasal 246 disebutkan bahwa "asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu".
Pengertian asuransi yang lain adalah merupakan suatu pelimpahan risiko dari pihak pertama kepada pihak lain. Dalam pelimpahan dikuasai oleh aturan-aturan hukum dan berlakunya prinsip-prinsip serta ajaran yang secara universal yang dianut oleh pihak pertama maupun pihak lain.
Dari segi ekonomi, asuransi berarti suatu pengumpulan dana yang dapat dipakai untuk menutup atau memberi ganti rugi kepada orang yang mengalami kerugian.
Pengertian 'risiko' dalam asuransi adalah "ketidakpastian akan terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian ekonomis".

Bentuk-bentuk Risiko
Bentuk-bentuk risiko antara lain risiko murni, risiko spekulatif, risiko partikular dan risiko fundamental.
Risiko murni adalah risiko yang akibatnya hanya ada 2 macam: rugi atau break even, contohnya pencurian, kecelakaan atau kebakaran.
Risiko spekulatif adalah risiko yang akibatnya ada 3 macam: rugi, untung atau break even, contohnya judi. Risiko partikular adalah risiko yang berasal dari individu dan dampaknya lokal, contohnya pesawat jatuh, tabrakan mobil dan kapal kandas.
Sedangkan risiko fundamental adalah risiko yang bukan berasal dari individu dan dampaknya luas, contohnya angin topan, gempa bumi dan banjir.

Risiko yang Dapat Diasuransikan
Tidak semua risiko dapat diasuransikan. Risiko-risiko yang dapat diasuransikan adalah : risiko yang dapat diukur dengan uang, risiko homogen (risiko yang sama dan cukup banyak dijamin oleh asuransi), risiko murni (risiko ini tidak mendatangkan keuntungan), risiko partikular (risiko dari sumber individu), risiko yang terjadi secara tiba-tiba (accidental), insurable interest (tertanggung memiliki kepentingan atas obyek pertanggungan) dan risiko yang tidak bertentangan dengan hukum.

Kekhawatiran terhadap ketidakpastian (uncertainty) menimbulkan kebutuhan terhadap perlindungan asuransi. Ketidakpastian yang mengandung risiko yang dapat menjadi ancaman bagi siapapun melahirkan kebutuhan untuk mengatasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari ketidakpastian tersebut. Risiko yang dihadapi dapat bersumber dari bencana alam, kelalaian, ketidakmampuan ataupun dari sebab-sebab lainnya yang tidak diduga sebelumnya. Meskipun demikian, tidak semua orang membeli asuransi dan tidak semua risiko diasuransikan. Bagi mereka yang membeli, jenis, jumlah dan biaya asuransi yang dibeli merupakan hasil dari pertimbangan atas berbagai faktor terutama sikap pandang terhadap risiko. Ada yang takut dengan risiko sehingga ingin mengasuransikan semuanya tetapi ada juga yang bersikap berani mengambil risiko atau sekedar karena kurang perduli sehingga mengasuransikan risiko yang dimilikinya. Sebagian lagi, tidak menutup asuransi karena tidak menyadari risiko yang dimiliki atau tidak mengetahui apa yang dapat diasuransikan. Sebagian lain lagi tidak mengasuransikan karena menganggap asuransi itu mahal.

Perjanjian Asuransi

Sifat konsesual dari perjanjian asuransi terdapat dalam Pasal 257 KUHD yang menyatakan bahwa:
“ Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika ia ditutup; hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani.”

Pasal 257 KUHD tersebut merupakan penerobosan terhadap Pasal 255 KUHD yang mensyaratkan bahwa perjanjian asuransi harus dibuat dalam suatu akta yang dinamakan polis. Namun dengan adanya polis sebagai syarat mutlak, bukan berarti asuransi merupakan perjanjian formal. Karena, pada Pasal 257 KUHD bahwa asuransi sudah terbentuk sejak adanya kata sepakat.

Tujuan untuk memperalihkan atau membagi risiko yang dihadapi seseorang, baik atas jiwanya sendiri maupun atas barang dan tanggung jawabnya, baru mencapai sasaran apabila dilakukan melalui surat perjanjian yang khusus diadakan untuk itu yaitu perjanjian asuransi. Perjanjian asuransi pada dasarnya dituangkan dalam suatu akta yang dinamakan polis. Karena, polis disini bukan syarat mutlak kecuali jika diadakan perjanjian lain.

Isi Polis 
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut ini:
  • 1. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
  • 2. Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
  • 3. Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
  • 4. Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
  • 5. Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
  • 6. Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
  • 7. Premi asuransi;
  • 8. Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara para pihak, antara lain mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau pemegang hak.

Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan bahwa di dalam polisnya harus pula menyebutkan:
  1. a. Letak barang tetap serta batas-batasnya;
  2. b. Pemakaiannya;
  3. c. Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh terhadap obyek pertanggungan;
  4. d. Harga barang-barang yang dipertanggungkan;
  5. e. Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu berada.
Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu diperhatikan tujuh aspek penutupannya, yaitu:
  1. 1. Bencana yang ditutup;
  2. 2. Kerugian yang ditutup;
  3. 3. Orang-orang yang ditutup;
  4. 4. Lokasi-lokasi yang ditutup;
  5. 5. Jangka waktu yang ditutup;
  6. 6. Bahaya-bahaya yang dikecualikan.
Prinsip dalam Sistem Hukum Asuransi
Dalam suatu pertanggungan/asuransi terdapat 5 (lima) prinsip yang mendasari suatu pertanggungan, hal mana kelima prinsip tersebut berlaku mutlak dalam suatu perikatan Asuransi. 
  • a. Insurable Interest Principle
  • b. Utmost Good Faith Principle
  • c. Indemnity Principle
  • d. Subrogation Principle
  • e. Contribution and/or Chronologis Principle

Manfaat Asuransi bagi Masyarakat dan Perekonomian

Manfaat asuransi dalam kehidupan masayarakat yang pertama adalah adanya, rasa aman dan perlindungan. Kedua, polis asuransi yang dimiliki oleh tertanggung akan memberikan rasa aman dari risiko atau kerugian yang mungkin timbul. Kalau risiko atau kerugian tersebut benar-benar terjadi, pihak tertanggung (insured) berhak atas nilai kerugian sebesar nilai polis atau ditentukan berdasarkan perjanjian antara tertanggung dan penanggung. Selain itu, pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil. Prinsip keadilan diperhitungkan dengan matang untuk menentukan nilai pertanggungan dan premi yang harus ditanggung oleh pemegang polis secara periodik dengan memperhatikan secara cermat faktor-faktor yang berpengaruh besar dalam asuransi tersebut. 
Untuk mendapatkan nilai pertanggungan, pihak penanggung sudah membuat kalkulasi yang tidak merugikan kedua belah pihak. Semakin besar nilai pertanggungan, semakin besar pula premi periodik yang harus dibayar oleh tertanggung. Polis asuransi dapat dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh kredit. Asuransi dalam kehidupan bermasyarakat juga, berfungsi sebagai tabungan dan sumber pendapatan. Premi yang dibayarkan setiap periode memiliki substansi yang sama dengan tabungan. Pihak penanggung juga memperhitungkan bunga atas premi yang dibayarkan dan juga bonus (sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak).

Kebutuhan masyarakat terhadap asuransi akan terus  berkembang sesuai dengan kebutuhan pada zamannya masing-masing. Dewasa ini kebutuhan tersebut, telah berkembang sehingga menjadi termasuk dan tidak terbatas kepada kebutuhan terhadap hal-hal sebagaimana tercantum di bawah ini :
  1. 1. Sebagai proteksi terhadap risiko finansial sebagai akibat timbulnya :   kerugian, kerusakan dan kehilangan yang menimpa harta benda yang dimiliki atau dikuasai; tuntutan tanggung jawab hukum atas kesalahan dan/atau kelalaian pribadi atau yang berada di bawah pengawasan atau tanggung jawabnya, atau mereka yang tindakannya terkait dengannya di bawah undang-undang;
  2. 2. Sebagai kompensasi atas kehilangan anggota badan atau cacat badan atau meninggal dunia.
  3. 3. Sebagai jaminan kelangsungan pendapatan sendiri (termasuk badan usaha) dan keluarga (atau yang menjadi tanggung jawabnya termasuk karyawan)
  4. 4. Sebagai sarana investasi dan tabungan.
  5. 5. Sebagai sarana berbagi risiko dan tolong menolong apabila terjadi musibah.
  6. 6. Sebagai strategi efisiensi pemanfaatan modal sehingga tidak perlu melakukan pencadangan atas risiko kerugian yang mungkin timbul sehingga modal yang dimiliki dapat dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan bisnis.
  7. 7. Pendukung strategi pengambilan kebijakan bisnis atau tindakan pribadi, misalnya atas rencana investasi atau perluasan usaha, pemberian kredit, risiko kegagalan pelaksanaan kontrak dan  kegiatan pribadi yang mengandung risiko tinggi.
  8. 8. Dasar pengaturan anggaran biaya, dan
  9. 9. Pemberi rasa aman mengetahui risiko yang mungkin terjadi akan ditanggung oleh perusahaan asuransi.


Pembubaran Perusahaan Asuransi Menurut Peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)

Penjelasan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 28/POJK.05/2015 Tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan bahwa fungsi pengawasan dan pengaturan terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang beroperasi di Indonesia dilakukan oleh OJK. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, juga mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Dalam rangka memberikan perlindungan kepada konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian terhadap konsumen dan masyarakat.
Salah satunya adalah pada saat lembaga jasa keuangan dicabut izin usahanya dan harus dibubarkan. Pembubaran lemabaga jasa keuangan yang telah dicabut izin usahanya tersebut termasuk Perusahaan yang akan berpotensi menimbulkan masalah dan pada akhirnya akan merugikan konsumen. Untuk memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi konsumen dan masyarakat khususnya pemegang polis, tertanggung, atau peserta, perlu diciptakan mekanisme yang transparan dan akuntabel pada proses pembubaran badan hukum dan likuidasi. Selain itu, Undang- undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian telah mengatur mengenai kewenangan OJK. 

Referensi :
http://www.i-asuransi.com
http://www.ojk.go.id
 




Share:

Related Posts:

0 comment:

Posting Komentar